Tendensi kepunahan Bahasa_Banyumasan

Bagi penutur sehari-hari bahasa Banyumasan, sub judul di atas terkesan berlebihan, tetapi bagi para pakar Banyumasan kakhawatiran tersebut sangat beralasan. Budayawan M. Koderi, Fadjar P. dan Ahmad Tohari bersedia sibuk-sibuk menyusun Kamus Banyumasan adalah bukti kekhawatiran tersebut selain karena kecintaan mereka kepada budaya Banyumasan. Untuk sub dialek Cirebonan, budayawan TD Sudjana harus bersitegang mempertahankan agar mata pelajaran bahasa daerah Cirebonan tidak dihapus dari muatan lokal kurikulum pendidikan nasional.

Baca kegundahan Ahmad Tohari berikut ini:

dalam kenyataan sehari-hari keberadaan basa banyumasan termasuk dialek lokal yang sungguh terancam. Maka kita sungguh pantas bertanya dengan nada cemas, tinggal berapa persenkah pengguna basa banyumasan 20 tahun ke depan? Padahal, bahasa atau dialek adalah salah satu ciri utama suatu suku bangsa. Jelasnya tanpa basa banyumasan sesungguhnya wong penginyongan boleh dikata akan terhapus dari peta etnik bangsa ini. Kekhawatiran belau lainnya: mana bacaan teks-teks lama Banyumasan seperti babad-babad Kamandaka, misalnya, malah lebih banyak ditulis dalam dialek Jawa wetanan. Jadi sebuah teks yang cukup mewakili budaya dan semangat wong penginyongan harus segera disediakan.

Sebuah fakta empiris bahwa penutur asli bahasa Banyumasan (Satria) akan mengalah bila berbicara dengan penutur bahasa wetanan (Satrio). Alasannya, Satria tidak ingin dicap sebagai orang rendahan karena menggunakan bahasa berlogat kasar.